Guna mendekatkan institusi kejaksaan dan memupuk pemahaman restoratif justice kepada masyarakat, Kejari Lotim bangun Rumah Restoratif Justice di Desa Anjani.
LOMBOK TIMUR, Corongrakyat.co.id- Tidak semua masyarakat paham dan mengerti Restorative Justice (RJ). Apa syarat dan batasan serta klasifikasi suatu perkara sehingga dengan layak dilakukan Restorative Justice.
Menurut Kepala Seksi Pidana Umum (Pidum) Kejari Lombok Timur, Ida Made Oka Wijaya, SH, untuk memperoleh RJ harus terpenuhinya sejumlah syarat formal dan telah diatur dalam peraturan Kejaksaan Agung RI No. 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan restorative yang merupakan pengejawantahannya pada legacy formalnya.
RJ ini kata Oka, pernah diterapkan beberapa waktu lalu di Kejari Lotim dalam perkara kasus penganiayaan. Restorative Justice suatu upaya untuk memulihkan keadaan seperti sedia kala.
Syarat mutlak untuk mengajukan RJ diantaranya, seorang tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun, kerugiannya tidak lebih dari Rp. 2,5 juta dan yang terpenting, ada upaya perdamaian dari kedua belah pihak.
“Jika dalam suatu perkara tercapai syarat RJ, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan penghentian Penuntutan (SKP2). Dan RJ ini pernah kami terapkan dalam kasus penganiayaan pasal 351 ayat 1 KUHP, beberapa waktu lalu atas nama tersangka Wahyu Widodo,” jelas Oka kepada wartawan, Selasa (05/04/2022).
RJ tambah Oka, menandakan bahwa jaksa itu hadir ditengah masyarakat dalam hal pelayanan dan bantuan hukum. Pendirian Rumah RJ menjadi fokus kejaksaan dalam upaya menciptakan kondisi masyarakat menaati hukum.
Lalu, kenapa Desa Anjani yang dipilih menjadi pilot project Rumah RJ? Menurut Oka, Desa Anjani sebagai salah satu desa wisata di Lotim tentunya memiliki ragam persoalan. Dengan status desa wisata, akan ada banyak kunjungan dari luar.
“Sudah pasti akan memunculkan berbagai persoalan ke depannya. Nah, dengan munculnya persoalan disitulah perannya Rumah Restorative Justice,” ujar Oka.
Penyelesaian diluar persidangan ini kata dia, tidak berkutat pada perkara pidana semata, melainkan persoalan yang muncul ditengah masyarakat pun dapat diselesaikan di Rumah RJ.
“Jaksa berfungsi sebagai mediator saja. Ketika sebuah perkara sudah mencapai kata sepakat, korban sudah memaafkan, pelakunya sudah meminta maaf dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, maka sudah terjawab bentuk keadilan itu,” jelasnya.
Hanya saja, tidak semua kasus tindak pidana itu dapat dilakukan restorative justice. Sebab, harus memenuhi syarat formal seperti yang tertuang dalam peraturan Kejaksaan Agung RI No. 15 tahun 2020. (Pin)