LSM Garuda gelar aksi demonstrasi di depan Pengadilan Negeri (PN)Lombok Timur dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Timur.
LOMBOK TIMUR, Corongrakyat.co.id- Massa aksi dari LSM Garuda itu mempertanyakan tuntutan Kejari Lombok Timur dan putusan PN Lombok Timur atas perkara pidana kasus penganiayaan.
Di mana kata Koordinator Umum Aksi, M Zaini mempertanyakan tuntutan jaksa dan putusan majelis hakim yang tidak mengupayakan restoratif justice untuk penyelesaian masalah itu.
“Tindak pidana ini terjadi bulan Agustus 2021. JPU menuntut 2 tahun tapi hakim memutus 1,6 tahun dan denda Rp 3 juta. Kenapa tidak ditempuh proses restoratif justice,” katanya, Rabu (14/9/2022).
Dijelaskan juga oleh dia, kasus dugaan penganiyaan itu terjadi pada bulan Agustus 2021, di mana kedua terpidana waktu itu memperingatkan korban untuk tidak ngebut mengendarai motor, karena ada benang layangan yang membentang di tengah jalan.
Namun pasca itu, lanjut Zaini diduga korban mendapat penganiyaan sehingga terjadi dugaan tindakan penganiaya yang berujung pada laporan polisi.
“Pada waktu itu (dugaan penganiayaan, red) korban masih usia anak. Kenapa proses hukum berlanjut, bukan menempuh restoratif justice,” tanyanya lagi.
Menanggapi itu, Kepala Seksi Intelijen pada Kejari Lombok Timur, L Moh. Rasyidi, S.H menegaskan jika pihaknya tidak bisa menempuh restoratif justice, karena upaya perdamaian dilakukan setelah proses persidangan berlangsung.
“Restoratif justice tidak bisa kita simpulkan secara parsial. Kami tidak bisa mengupayakan itu karena restoratif justice dilakukan setelah persidangan berlangsung,” jelasnya.
Masih kata dia, di saat proses penyidikan dan persidangan, dua terpidana sudah berusia dewasa, di mana tegas dia, hal itu dibuktikan dengan fakta persidangan.
“Kami sudah klarifikasi ke jaksa yang menangani perkara, bahwa sesuai berkas, umur terdakwa waktu itu sudah dewasa bukan anak-anak. Tapi sebaliknya, korban masih berusia anak,” paparnya.
Senada dengan yang didampingi Rasyidi, Kepala Seksi Pidana Umum, Ida Made Oka Wijaya, S.H menyatakan jika sampai saat persidangan terjadi, tidak ada proses perdamaian, sehat penanganan terus dilanjutkan, sampai perkara berstatus hukum tetap (inkrah, red).
Masih lanjut dia, hal menjadi pertimbangan JPU menuntut dia terdakwa waktu itu karena jaksa menilai disaat mengikuti proses persidangan terdakwa memberikan keterangan bertele-tele (tidak konsisten, red).
“JPU menuntut 2 tahun karena kedua terdakwa memberikan keterangan secara bertele-tele,” jelasnya.
Adapun karena proses hukum telah berkekuatan hukum tetap, maka tidak ada pilihan bagi pihaknya untuk segelintir melakukannya upaya eksekusi.
Kendati demikian, dia meminta kepada pihak terdakwa jika menolak hasil putusan pengadilan, untuk melakukan upaya hukum luar biasa yakni proses peninjauan kembali (PK), dan meminta untuk mencari bukti baru (novum) yang meringankan.
“Ini sudah inkrah, bukan lagi banding, tapi harus menempuh upaya hukum luar biasa, yakni proses peninjuan kembali. Silahkan itu dilakukan untuk mendapatkan keadilan, sesuai keinginan kita bersama,” tandasnya.
Sementara itu, Humas PN Selong Nasution yang menemui massa aksi menyarankan kepada kedua terpidana untuk melakukan langkah hukum selanjutnya, untuk menemui titik terang lebih lanjut dalam kasus itu.
“Mari kita hormati putusan pengadilan. Jika masih tidak puas, silahkan tempuh proses hukum lebih lanjut,” ungkapnya.
Menanggapi dugaan adanya praktek pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum internal PN Lombok Timur, Nasution meminta hal itu dilaporkan dengan dengan menyertakan bukti-bukti lengkap, untuk diproses hukum.
“Siapapun mau majlis hakim, mau panitera silahkan dilaporkan,” tandasnya. (Pin)