
Oleh : Lalu Mujahidin
PROGRAM kesetaraan paket C belakangan ini cenderung dijadikan sebagai alternatif negatif bagi beberapa kalangan yang berkepantingan untuk mendapatkan jabatan tertentu namun tersandung oleh jenjang pendidikan terakhir.
Sebagai contoh, sebagai salah satu syarat untuk menjadi calon anggota legislatif (Caleg) maupun calon Kepala Desa, yang bersangkutan minimal berijazah SMA/MA. Karena yang bersangkutan sebelumnya hanya lulusan SMP/MTs, maka hal yang paling cepat ditemouh adalah mencari ijazah paket C, sebab paket C melalui lembaga informal di negeri ini sudah disetarakan pemanfaatannya dengan lembaga pendidikan formal yang ditempuh dengan waktu yang cukup lama, yakni tiga tahun bahkan bisa juga sampai empat atau lima tahun.
Penggunaan ijazah paket C santer derdengar ketika musim pencalegan atau pendaftaran calon kades seperti beberapa waktu lalu, banyak calon memakai paket C yang mereka dapat diduga sangat instan, tanpa ada proses belajar mengajar merka peroleh ijazah dengan mudahnya, hal ini membuat perasaan berbagai pihak tergelitik dikarenakan mudahnya memperoleh ijazah paket C tersebut.
Mungkin Pembaca pernah dengar beberapa kasus tentang penggunaan ijazah paket C seperti kasus mantan Kepala Desa Pringgabaya dan baru-baru ini salah seorang Caleg di Laporkan memakai ijazah paket C nya yang diduga palsu.
Pada dasarnya, ijazah paket C diterbitkan oleh lembaga pendidikan informal yang bernama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) setelah warga belajarnya menempuh proses belajar mengajar kesetaraan.
Sesuai dengan standar dan prosedur penyelenggaraan PKBM, pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B, dan Paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Pendidikan kesetaraan adalah pendidikan nonformal bagi warga Negara Indonesia usia sekolah yang berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada pengetahuan akademik dan keterampilan fungsional pengembangan sikap dan kepribadian profesional serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya nampaknya tidak seperti apa yang telah ditentukan dalam standar dan prosedur penyelenggaraan PKBM yang mana dewasa ini banyak orang yang sudah usia lanjut namun karena sebuah ambisi untuk menduduki jabatan tertentu memaksa mereka untuk memiliki ijazah paket C walau pada dasarnya mereka sudah bukan usia sekolah dan juga tidak mengikuti semua tahapan pembelajaran yang telah ditentukan.
Sebagian pengelola PKBM juga terkadang tergoda dengan lembaran rupiah sehingga lembaran ijazah kesetaraan paket C dengan gampang dikeluarkan untuk kepentingan pemilik uang yang tak terdidik atau dengan kata lain memperjualbelikan ijazah.
Ketidakhadiran peserta didik terkadang dianggap hal yang biasa oleh pengelola program, anggapan tersebut dikarenakan banyak peserta didiknya adalah orang-orang yang sudah berumur alias sudah tua. Hal ini tentunya bertentangan dengan standar dan prosedur penyelenggaraan PKBM.
Jjadi ketika peserta didik tidak masuk dikarenakan alasan sibuk, pengelola PKBM tetap saja memberikan izin sehingga masuk atau tidak sudah tidak jadi soal asalkan mereka sudah membayar sejumlah uang untuk pendaftaran.
Walau demikian, pada akhirnya nanti peserta didik seperti itu tetap akan memperoleh ijazah walaupun tidak mengikuti tahapan program bahkan tidak ikut ujian sama sekali asalkan memiliki cukup uang. Sebab dengan uang persoalan ujian dapat diwakilkan oleh pengelola atau tutor PKBM.
Preseden buruk bagi dunia pendidikan kita, siswa-siswi pada lembaga pendidikan formal yang lelah mengikuti proses belajar mengajar selama 3 tahun lamanya dengan biaya yang relatif banyak dikeluarkan oleh orang tua mereka dikalahkan oleh mereka yang mengikuti program paket C atau paket lainnya yang hanya ikut ujian 2 sampai 4 hari.
Hebatnya lagi, ijazah paket ini bisa disetarakan dengan jenjang pendidikan formal, pemegang ijazah paket C bisa melamar pekerjaan atau melanjutkan studynya ke jenjang yang lebih tinggi.
Ironis, mereka yang bertahun-tahun sekolah bisa saja tidak bisa lulus di jenjang pendidikan yang lebih tinggi tersebut, atau dengan enaknya mantan peserta paket C yang tidak pernah mengikuti proses belajar mengajar tersebut melenggang menjadi Anggota Dewan yang terhormat.
Kedepan jika hal ini terus saja berlaku tanpa ada pengawasan dari instansi terkait, membuat para pemuda kita akan malas sekolah formal, tidak sekolahpun nanti bisa sekolah paket C selama 3-6 dan bulan sudah bisa mengantongi ijazah dan bisa juga melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
lalu kemana keadilan dibidang pendidikan seperti ini?. Jabatan bisa diraih walaupun tidak pernah sekolah hanya mengikuti ujian saja langsung bisa memperoleh ijazah… oh asyiknya.
Salah seorang tutor PKBM sebut saja inisialnya AM, ia menuturkan bahwa pihaknya selama ini tidak pernah diawasi oleh pihak Dikpora selaku pengawas dalam pelaksanaan kegiatan.
Standar dan prosedur penyelenggaraan PKBM tidak dilaksanakan dengan baik, hal itu dibuktikan dengan pelaksanaan ujian langsung diadakan pengelola PKBM tanpa pengawasan.
AM juga menuturkan, bahwa saat pelaksanaan ujian paket C pernah ada peserta didiknya tengah berada di Malaysia namun diwakilkan untuk ujiannya dan yang lebih parah menurutnya ada tutor PKBM yang langsung mengerjakan jawabannya.
DDR (22) adalah salah seorang mahasiswa yang dulunya ikut program paket C, ia mengatakan bahwa selama ini ia tidak pernah masuk mengikuti proses belajar mengajar tapi toh ia lulus dengan nilai yang sangat baik, ia hanya cukup merogoh isi sakunya sebesar Rp 2.500.00 dan saat ini mantan peserta paket C tersebut sedang menjalani pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi di Lombok Timur.
Kalau kita melihat berbagai kasus selama ini memang ijazah paket nya tidaklah palsu tetapi cara memperoleh ijazah tersebut yang menjadi sorotan para penegak hukum, jangan sampai kedepan banyak generasi muda kita hanya mau enaknya, tanpa pengetahuan mereka juga dengan cepat memilki ijazah .
Salah seorang pegawai Dikpora juga pernah bercerita pada penulis, bahwasanya saat ini pengelolaan paket belajar ini harusnya dikelola oleh Pendidikan Luar Sekolah(PLS), namun sebaliknya justeru dipegang oleh bidang yang dulunya tidak menangani PLS. Salah kamar ini juga mempengaruhi kinerja dari PKBM-PKBM yang ada dalam menangani kegiatan seperti ini.
Mall paraktik dunia pendidikan kesetaraan paket A,B,C adalah pendidikan nonformal yang pengelolaannya ada di bidang Dikdas dan Dikmen yang artinya ini sudah salah kamar.
Standar pendidikan formal dan informal yang mengacu pada PP 19/2006 dengan kewajiban untuk memenuhi 8 standar pendidikan adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Pemerintah hanya menekankan pada standar kompetensi lulusan, standadr proses, dan standar penilaian. Sedangkan 5 standar lainnya hampir diabaikan, padahal 8 standar pendidikan tersebut adalah satu kesatuan yng tidak bisa dipisahkan.
Tidak ada aturan yang menyebutkan kewenangan dan proses pelaporan, serta sanksi terhadap lembaga pelaku pelanggaran berat dan belum adanya aturan yang jelas tentang bagaimana menganulir ijazah yang diperoleh warga belajar dengan cara yang syah, meskipun standar proses keliru.
Seharusnya pendidikan informal dan formal yang faktor perbedaannya, ujian yang berbeda seharusnya membuat perbedaan dari ijazahnya juga harusnya ada, tapi sayangnya Undang-undang kita tidak mengatur hal itu.
Menurut salah seorang pegawai di Pengadilan Negeri (PN) Selong yang selama ini mengamati dunia pendidikan mengatakan, dari fakta persidangan bahwa ada PKBM yang banyak “bermain” sehingga program ini banyak di rekayasa.
Jadi orang tidak pernah sekolah pun akan mereka rekrut sebagai upaya agar mereka tetap sebagai pengelola program tersebut. Dari beberapa kasus yang ada di Lotim, pemegang ijazah paket C banyak yang sudah di batalkan melalui PN Selong. (*)