Terkikisnya Tradisi Khataman Al-Qur’an: Warisan Budaya yang Mulai Dilupakan

Corongrakyat|| Tradisi khataman Al-Qur’an, yang dahulu menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Muslim di berbagai daerah Indonesia, kini mulai mengalami pergeseran dan perlahan-lahan terkikis oleh arus modernisasi. Khataman Al-Qur’an, selain sebagai bentuk syiar keagamaan, juga sarat dengan nilai sosial yang mempererat hubungan antarwarga di lingkup keluarga maupun masyarakat luas.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Agama RI, tradisi khataman bukan hanya menjadi ritual ibadah, melainkan juga simbol rasa syukur atas selesainya seseorang dalam membaca Al-Qur’an secara keseluruhan. Biasanya, khataman dilaksanakan dalam suasana khidmat dan meriah, disertai dengan berbagai rangkaian acara seperti doa bersama, tumpengan, hingga pawai arak-arakan bagi anak-anak yang berhasil menyelesaikan bacaan mereka.

Namun, perkembangan zaman dan perubahan gaya hidup masyarakat dewasa ini menjadikan tradisi khataman mulai ditinggalkan. Kesibukan pekerjaan, dominasi teknologi digital, dan berkurangnya keteladanan dari generasi tua, menjadi beberapa faktor yang menyebabkan tradisi ini semakin jarang ditemui. Di beberapa daerah, bahkan ada kecenderungan menganggap tradisi ini tidak lagi relevan dengan kehidupan modern.

“Dulu, acara khataman itu selalu ramai, bahkan sampai mengundang warga satu kampung. Anak-anak yang khatam Al-Qur’an diarak keliling kampung, lalu disambut dengan syukuran. Sekarang, jarang sekali terlihat,” ungkap seorang tokoh masyarakat di Jawa Tengah, seperti dikutip dari Kemenag.

Padahal, menurut para ulama dan pegiat pendidikan agama, khataman Al-Qur’an memiliki makna penting sebagai penanaman nilai-nilai Islam sejak dini. Tradisi ini mampu menumbuhkan semangat belajar mengaji di kalangan anak-anak, serta membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang religius dan menghargai nilai kebersamaan.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., turut memberikan pandangannya mengenai fenomena ini. Ia menilai bahwa tradisi khataman Al-Qur’an adalah bagian dari proses pendidikan karakter di masyarakat yang harus terus dilestarikan.
“Tradisi khataman bukan hanya seremonial, tetapi juga proses pendidikan spiritual. Kita harus menjaga tradisi ini agar tetap hidup, karena dari sinilah lahir generasi yang cinta Al-Qur’an,” ujarnya.

Kementerian Agama sendiri mengimbau agar masyarakat tidak melupakan tradisi baik ini. Melalui berbagai program pendidikan diniyah dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Kemenag berusaha mendorong masyarakat untuk menghidupkan kembali budaya khataman, tidak hanya sebagai ritual seremonial, tetapi juga sebagai bagian dari pembentukan karakter generasi muda Muslim.

“Melestarikan tradisi khataman Al-Qur’an adalah bagian dari menjaga warisan budaya keagamaan bangsa. Ini bukan hanya soal membaca Al-Qur’an sampai selesai, tetapi juga tentang membangun komunitas yang peduli, religius, dan penuh rasa syukur,” terang salah satu pejabat di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI.

Upaya revitalisasi tradisi khataman Al-Qur’an kini menjadi tantangan bersama, terutama di tengah masyarakat urban yang lebih akrab dengan budaya instan dan individualistik. Kemenag berharap, masyarakat dapat kembali menjadikan khataman sebagai momen penting dalam kehidupan keagamaan, sekaligus mempererat tali silaturahmi antarsesama.

Dalam konteks masyarakat modern, tradisi khataman Al-Qur’an mungkin bisa dikemas lebih sederhana tanpa mengurangi makna substansinya. Yang terpenting adalah menjaga nilai spiritual, kebersamaan, dan semangat mencintai Al-Qur’an yang terkandung di dalamnya.