Rasinah Abdul Igit (Pemerhati Pariwisata NTB)
Suatu hari di ujung tahun, saya berkesempatan jalan-jalan ke Banyuwangi. Memasuki komplek kantor bupati, suasana asri menyapa. Sepi dan nyaman. Di banyak daerah, kantor pemerintahannya sepi dan tenang, tidak ramai dan riuh supaya para PNS nyaman bekerja. Supaya warga nyaman mengurus keperluan mereka.
Fira namanya. Gadis cantik anggota Pol PP Banyuwangi. Melihat saya dam teman-teman tengah khusyuk membaca baliho yang berisi daftar festival wisata yang sudah dan akan digelar selama satu tahun, dia menghampiri. Tanpa ditanya, Fira memulai percakapan. Dia menjelaskan satu persatu jadwal festival. Ya, Banyuwangi memang terkenal karena festivalnya. Tahun ini saja ada lebih 123 festival wisata. Ada beberapa yang paling ditunggu wisatawan. Misalnya Festival Gandrung Sewu. Ini festival tari ribuan penari perempuan di pinggir pantai. Lalu ada Banyuwangi Etno Carnival, pagelaran busana entik yang sudah terkenal dimana-mana. Ada juga festival – festival lain yang bernuansa mistis-magis. Dulu, sampai sekarang pun, Banyuwangi masih mendapat sematan daerah santet. Tempat sihir. Tapi tunggu dulu, bukan Banyuwangi namanya kalau tidak bisa mengolah penyematan itu justru menjadi produk wisata. Pemandu tour kami malah sering berkelakar. “Jangan ganggu, nanti kami santet lo” katanya enteng dan menghibur. Suatu hari kami juga makan di rumah makan “Jaran Guyang” namanya.
Fira ini luar biasa. Sudah cantik, cerdas pula. Dia ini anggota Pol PP tapi bisa menjelaskan tetek bengek wisata Banyuwangi dengan fasih dan memikat. Mungkin karena didukung senyumnya juga. Saya mengira Pol PP macam dia hanya bertugas menjaga keamanan kantor bupati saja. Tapi tidak. Dia sales. Dia seorang penjual handal. Dia meng-endorse daerahnya. Apa memang ada pelatihan khusus bagi mereka untuk menerangkan wisata Banyuwangi untuk setiap tamu yang datang? Dia jawab tidak. Dia bilang semacam panggilan hati saja karena saban hari banyak tamu luar yang datang ke kantor tempatnya bertugas. Setelah kami mintai tolong ambil gambar, Fira kembali ke pos tugasnya.
Itu baru satu anggota Pol PP bikin kagum. Bagaimana jika semua anggota Pol PP begitu.
Hebatnya Fira sama dengan hebatnya seorang kepala dinas setempat. Dia kepala dinas yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dinas pariwisata. Tapi dia panjang lebarb bicara pariwisata daerahnya. Malam hari sehabis makan bersama, dia “memaksa” kami melihat-lihat suasana pendopo kantor bupati. Ini orang macam guide saja nemani kami jalan. Pendopo bupati Banyuwangi memang sudah jadi destinasi wisata. Bupati tidak tinggal di sini. Di areal parkir ada dua pohon beringin tua. Sudah berumur ratusan tahun. Di bagian samping bangunan utama ada guest house yang dibangun mirip rumah teletubbies karena bagian atapnya terhampar taman rumput. Di bagian belakang ada rumah khas peninggalan lama.
Saat ngobrol dia bilang begini. ” Di sini, semua dinas adalah dinas pariwisata”. Keren sekali istilah yang dipakai orang ini. Dia adalah salah satu sales pariwisata Banyuwangi. Dia menegaskan bahwa semua dinas mensupport penuh Dinas Pariwisata.
Pengalaman ini saya angkat usai menemani Bupati – Wakil Bupati Lombok Barat H. Lalu Ahmad Zaini- Hj. Nurul Adha bertemu dengan para pelaku pariwisata Senggigi. Ini adalah agenda serap masalah LAZ – Adha sebelum dilantik menjadi kepala daerah terpilih. Masalah ditampung agar nanti setelah dilantik bisa langsung action. LAZ- Adha tidak pakai program 100 hari. Mana yang harus diselesaikan segera, akan diselesaikan segera.
Macam-macam keluhan pelaku pariwisata Senggigi. Senggigi kumuh oleh PKL yang tidak tertata misalnya. Ini keluhan klasik. Tapi memang faktanya begitu. Di pinggir jalan di sekitar spot view strategis mulai baru masuk gerbang Senggigi, PKL tidak tertata. Mereka bebas mendirikan tempat jualan di trotoar. Belum lagi soal sampah yang tidak terurus. Soal penerangan jalan juga disampaikan. Senggigi gelap. Bikin tamu tidak aman dan nyaman keluar malam hari. Ada juga keluhan yang sangat penting. Pelaku pariwisata gerah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Desa Senggigi yang dianggap sudah mirip pemerintah kabupaten. Soal apa itu? Soal pungutan biaya sampah dan kebijakan lain dengan alasan sesuai peraturan desa setempat. Atas semua keluhan, bupati dan wakil bupati menampungnya dan berjanji segera menanganinya nanti setelah dilantik. Bagi para pelaku pariwisata Senggigi, ini pertemuan penting dan berharga.
Di catatan saya sebagai orang yang sering menulis soal pariwisata, Senggigi memang punya banyak problem. Problem yang lain bisa ditulis oleh pembaca di kolom komentar nanti.
Satu. Diferensiasi. Apa pembeda Senggigi dengan destinasi lain di daerah ini? Percayalah, kalau tidak ada jawaban pertanyaan ini? Senggigi menjadi ikon pariwisata NTB. Iya. Itu dulu, ketika destinasi-destinasi baru belum berkembang dan maju. Waktu terus berjalan. Destinasi-destinasi baru bermunculan dengan kekhasan masing-masing. Di NTB sendiri, Senggigi diapit oleh dua destinasi top : kawasan Tramena di KLU dan KEK Mandalika di Lombok Tengah. Dua-duanya punya ciri khas. Punya pasar yang jelas. Senggigi belum disentuh lewat pendekatan diferensiasi. Pembedanya dengan destinasi lain belum terlihat. Karenanya pelaku pariwisata senang ketika LAZ menantang mereka membuat masterplan Senggigi. Butuh waktu lama. Tapi memang harus dimulai dari sekarang kalau tidak mau Senggigi mati. LAZ juga bicara tentang pengaturan klaster Senggigi. Mana zona hiburan malam, mana zona pusat keramaian, mana zona “tenang” dan “privat” dan sebagainya. Sekali lagi, ini desain besar yang efeknya jangka panjang namun harus segera dilaksanakan.
Kedua, event. Apa yang membuat Banyuwangi menjadi magnet padahal alamnya begitu-begitu saja? Ya itu, event. Pemda-nya kreatif mengelola event wisata. Angka ratusan lebih event setiap tahun itu luar biasa. Lombok Barat, khususnya Senggigi, bagaimana? Setahu saya dalam setahun hanya ada dua event di Senggigi, Festival Pesona Senggigi dan Senggigi Sunset Jazz. Di kawasan pariwisata yang dianggap ikon ini, event-nya hanya dua itu. Dua – duanya pun dikritik oleh pelaku wisata. LAZ dan Adha mencatat dengan baik soal ini.
Ketiga, problem sales. Di sebuah pidato baru-baru ini, LAZ meminta semua ASN menjadi humas Lombok Barat. Dalam konteks pariwisata, saya mengartikan LAZ ingin semua ASN seperti Fira, gadis Pol PP Banyuwangi itu. LAZ juga ingin semua dinas adalah dinas pariwisata. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bekerja dengan baik agar lingkungan wisata bersih. Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) menyiapkan event-event olahraga yang mendukung sport tourism. Dinas Kesehatan bekerja agar Puskesmas dan rumah sakit bersandar tourism. Dinas-dinas lain juga demikian. Ini konsekuensi dari suguhan angka betapa pariwisata menyumbang hampir separuh pendapatan daerah ini.
Keempat, imbal balik. Yang ini khusus kritik untuk pelaku pariwisata. Keluhan-keluhan yang mereka sampaikan akan diselesaikan, tapi dengan catatan mereka juga harus membantu daerah dengan mematuhi ketentuan-ketentuan. Yang utama adalah ketentuan pajak ke daerah. Sebagian hotel, restoran maupun tempat hiburan di Senggigi yang nakal soal kewajiban ke daerah. Tamu ramai, dibilang sepi, lalu jadi alasan menunggak atau mempermainkan setoran pajak ke daerah. Masalahnya, daerah juga selama ini tidak punya instrumen yang bagus untuk menekan kebocoran pajak dan retribusi dari pariwisata. Dalam rangka memaksimalkan pendapatan dari pariwisata, LAZ – Adha di banyak kesempatan mempermaklumkan akan menerapkan tapping box di setiap hotel, restoran, kafe, termasuk di Senggigi. Lewat cara ini, pendapatan yang merupakan hak daerah langsung tercatat di sistem begitu tamu melakukan pembayaran. Sistem akan menginput langsung. Dulu, tapping box tidak jalan, salah satunya karena ditolak para pengusaha yang terindikasi natal ini. Soal kebijakan ini, sudah seharusnya publik Lombok Barat mendukungnya.