Konawe Kepulauan, – Ketegangan antara masyarakat Konawe Kepulauan, pemerintah daerah, dan dua perusahaan tambang besar di Pulau Wawonii semakin memuncak. PT Gema Kreasi Perdana (GKP) dan PT Bumi Konawe Minerina (BKM) kembali menjadi sorotan setelah dua kali mangkir dari undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilayangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep).

RDP yang dijadwalkan sebagai forum transparansi dan akuntabilitas untuk membahas legalitas serta dampak lingkungan aktivitas tambang di pulau kecil tersebut justru tidak dihadiri oleh perwakilan kedua perusahaan, memicu kekecewaan dari DPRD dan masyarakat yang selama ini merasa dirugikan.
Wakil Ketua DPRD Konkep, Sahidin, menyebut sikap PT GKP dan PT BKM sebagai bentuk pelecehan terhadap lembaga perwakilan rakyat. “Mereka telah kami undang secara resmi sejak 31 Januari 2025, namun hingga hari ini tidak pernah hadir. Ini bukan hanya soal etika, tetapi indikasi adanya ketidakpatuhan hukum,” tegasnya.
Sahidin menambahkan bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan PT GKP diduga telah menyalahi aturan hukum dan mengabaikan putusan Mahkamah Agung yang secara tegas menyatakan bahwa Pulau Wawonii merupakan kawasan yang tidak boleh ditambang karena termasuk pulau kecil yang dilindungi. Selain itu, DPRD menemukan dugaan bahwa perusahaan belum mengantongi izin lingkungan yang sah, serta status Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang masih belum jelas.
Baca Juga : CERI Apresiasi Pimpinan DPR dan Komisi III Cepat Respon Laporan Masyarakat
Lebih jauh, DPRD mencurigai adanya perlindungan dari oknum aparat dan pejabat di lingkup Provinsi Sulawesi Tenggara yang memungkinkan kedua perusahaan beroperasi seolah kebal hukum. “Kami menduga ada jaringan perlindungan di balik ini semua, karena sulit dijelaskan mengapa perusahaan bisa mengabaikan dua kali panggilan resmi tanpa konsekuensi apa pun,” imbuh Sahidin.
Akibat tidak adanya itikad baik dari pihak perusahaan, DPRD bersama perwakilan masyarakat resmi melayangkan surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mencabut seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT GKP di Pulau Wawonii. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan hidup dan masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada lahan pertanian dan wilayah pesisir.
“Kami ingin menyelamatkan Wawonii. Tambang ini hanya akan membawa kerusakan, bukan kesejahteraan,” kata Sahidin.
Di sisi lain, pihak PT GKP melalui Humasnya, Indi Aulia Rahman, menyatakan bahwa perusahaan masih menunggu tanggapan resmi dari pemerintah dan siap memberikan klarifikasi pada waktu yang tepat. Namun pernyataan tersebut tidak memuaskan masyarakat maupun DPRD yang telah menunggu lebih dari dua bulan tanpa kejelasan.
Desakan pencabutan IUP juga datang dari jajaran eksekutif daerah. Bupati Konawe Kepulauan secara resmi mengirim surat kepada Menteri ESDM, meminta agar izin tambang PT GKP dicabut. Dalam surat tersebut, Bupati menegaskan bahwa keberadaan tambang telah menyebabkan keresahan sosial, memicu konflik horizontal, serta mengancam keberlanjutan lingkungan hidup di pulau tersebut.
Pulau Wawonii dikenal sebagai kawasan dengan ekosistem yang rapuh. Masyarakat setempat menggantungkan hidup dari hasil pertanian dan laut. Masuknya perusahaan tambang telah menimbulkan perubahan drastis di beberapa wilayah pesisir, termasuk indikasi pencemaran air, rusaknya lahan produktif, serta terganggunya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Penolakan terhadap tambang nikel ini bukan hal baru. Sudah lebih dari empat tahun warga Wawonii menyuarakan penolakan melalui aksi protes, petisi, hingga pelaporan hukum. Baru-baru ini, warga juga melayangkan pernyataan sikap kolektif yang menyebut tambang tidak membawa kesejahteraan, melainkan hanya memperbesar potensi bencana ekologis dan sosial.
“Kami ingin hidup damai. Kami tidak butuh tambang, kami butuh tanah, air, dan laut yang bersih,” kata seorang tokoh masyarakat Wawonii yang ikut menandatangani petisi bersama ratusan warga lainnya.
Menyikapi kondisi tersebut, DPRD Konkep juga berencana menyurati Komisi III DPR RI agar kasus ini diangkat ke tingkat nasional. RDP lanjutan yang dijadwalkan berlangsung pada 14 April 2025 di Kantor Penghubung Konawe Kepulauan akan menjadi titik penting dalam upaya memperjuangkan nasib Wawonii ke depan.
“Jika jalur lokal tidak bisa menyelesaikan, kami akan naikkan ke DPR RI. Ini bukan lagi soal izin semata, tapi soal nyawa dan masa depan pulau kami,” tutup Sahidin.