JAKARTA – Proses pencampuran atau blending bahan bakar minyak (BBM) idealnya dilakukan di kilang minyak (refinery), bukan di depot pemasaran. Sebab, kilang minyak memiliki peralatan khusus dan sistem pengawasan ketat untuk memastikan campuran homogen, sesuai spesifikasi dan aman digunakan.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman mengutip pernyataan dua orang mantan Direktur Pengolahan Pertamina yang enggan disebutkan namanya dan sudah puluhan tahun mengurus semua kilang Pertamina.
“Beberapa kilang Pertamina, seperti di Cilacap, Balikpapan dan Balongan, telah dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan pencampuran berbagai jenis hidrokarbon menjadi produk akhir seperti Pertamax dan Pertalite,” beber Yusri.
Oleh karena itu, lanjut Yusri, blending di kilang merupakan prosedur standar yang seharusnya diikuti untuk menjaga kualitas bahan bakar.
“Namun, berdasarkan kasus yang baru-baru ini diungkap oleh Kejaksaan Agung pada Februari 2025, ditemukan indikasi bahwa blending bahan bakar dilakukan di depot pemasaran atau di fasilitas PT OTM yang tidak memiliki izin blending dari Ditjen Migas Kementerian ESDM, bukan di kilang. Ini merupakan praktik yang tidak lazim, karena depot seharusnya hanya digunakan untuk penyimpanan dan distribusi, bukan untuk produksi atau pencampuran bahan bakar,” jelas Yusri lagi.
Dalam kasus ini, kata Yusri, blending di depot diduga dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar secara tidak resmi, seperti mengubah RON 90 menjadi RON 92, yang berpotensi merugikan negara dan konsumen karena produk yang dijual mungkin tidak sesuai dengan spesifikasi sebenarnya.
“Secara prinsip, blending bahan bakar harus dilakukan di kilang, bukan di depot pemasaran. Jika praktik ini terjadi di luar kilang, hal tersebut merupakan penyimpangan dari prosedur standar dan dapat menjadi indikasi adanya masalah yang lebih besar, seperti manipulasi harga atau kualitas bahan bakar. Kasus yang sedang diselidiki menunjukkan bahwa penyimpangan semacam ini diduga dapat berdampak luas, baik secara ekonomi maupun teknis,” imbuh Yusri.
Oleh karena itu, lanjut Yusri, pengawasan yang lebih ketat terhadap proses distribusi bahan bakar diperlukan untuk mencegah praktik yang merugikan negara dan masyarakat.
Gabung Pertamina Patra Niaga dengan Kilang Pertamina
Senada, Mantan Petinggi Kilang Pertamina International mengungkapkan kepada Yusri Usman, di Kilang itu produk gasolinenya mulai dari RON 88, RON 90, RON 92, RON 98, RON 100 dan lebih dari RON 100. Sedangkan produk yang dikirim ke Pertamina Patra Niaga harus sesuai dengan ketentuan dari Ditjen Migas, yakni jenis Pertalite, Pertamax dan Pertamax Turbo.
“Proses blending di kilang melalui prosedur baku, peralatan kilang yang dikendalikan secara digital dan melalui quality control laboratorium yang tersertifikasi dengan alat test machine oktane di laboratorium kilang yang sama dengan yang digunakan oleh Lemigas sebagai laboratorium independen,” lanjut Yusri.
Yusri mengungkapkan, menurut narasumber mengatakan sebaiknya Pertamina Patra Niaga terima produk jadi mengingat atau bila mau melakukan efisiensi dengan menerapkan proper produksi.
“Kan bisa impor dan kirim ke kilang untuk dilakukan blending dan fee blending berikan ke kilang. Jangan blending di pihak ketiga yang notabene fasilitas tidak memadai dan tidak berstandar internasional baik metoda dan quality controlnya sehingga sangat rawan terhadap tipu menipu kualitas.
Kenapa saudara sendiri di internal Pertamina yang punya fasilitas canggih dan tersertifikasi tidak dimanfaatkan sehingga fee blending kan kembali ke internal Pertamina lagi bukan malah dikasih ke pihak ketiga yang fasilitasnya diragukan,” lanjut Yusri.
“Coba cek saja sarana dan prasaranya di pihak ketiga yang blending tersebut, memenuhi syarat atau tidak? Apa hasilnya sudah dikomparasi ke laboratorium Lemigas? Nah, itu perlu juga diperiksa,” lanjut Yusri.
Jadi ke depan, kata Yusri, sebaiknya produksi atau pembelian semua dilakukan di kilang, sedangkan Patra Niaga tinggal mengirim ke konsumen.
“Atau ya dilebur saja menjadi satu untuk kilang dan Patra Niaga menjadi Sub Holding Hilir, sehingga menjasi satu entitas bisnis yang lengkap, produsen sekaligus marketing. Mana ada sih produsen nggak boleh jualan, itu sering saya comment dari dulu,” lanjut Yusri.
Sementara itu, lanjut Yusri, Pertamina International Shipping (PIS) mungkin biarkan saja, belum perlu digabung karena alat angkut bisa outsourching, tidak harus via PIS kalau memang lebih murah.(*)