Sekolah Rakyat: Solusi atau Ilusi?

Oleh: Yazid Khofi, (Pengurus HMI Komisariat  Universitas Muhammadiyah Mataram)

Opini|| Pemerintahan Prabowo-Gibran baru-baru ini menggagas program Sekolah Rakyat sebagai solusi atas keterbatasan akses pendidikan bagi masyarakat miskin. Di atas kertas, program ini tampak mulia—menawarkan harapan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu agar tetap dapat mengenyam pendidikan. Namun, pertanyaannya: apakah ini benar-benar solusi, atau justru menambah panjang daftar persoalan pendidikan kita?

Sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan anak bangsa, saya merasa perlu mengajukan catatan kritis. Sebab, pembangunan Sekolah Rakyat di tengah banyaknya persoalan pendidikan yang belum terselesaikan justru terasa seperti memulai sesuatu yang baru tanpa menyelesaikan yang lama.

Mari kita buka mata. Banyak sekolah di berbagai pelosok negeri masih mengalami krisis fasilitas. Data dari katalog.satudata.go.id tahun 2023 menunjukkan bahwa ribuan sekolah kekurangan ruang kelas, peralatan belajar, bahkan toilet layak. Jika sekolah-sekolah yang sudah ada saja belum optimal, mengapa pemerintah memilih membangun sekolah baru?

Lebih ironis lagi, kesejahteraan guru—yang menjadi ujung tombak pendidikan—masih jauh dari kata layak. Guru honorer di berbagai daerah hidup dalam tekanan ekonomi. Banyak yang hanya menerima gaji ratusan ribu rupiah per bulan. Ada yang terpaksa meninggalkan profesi mulianya karena penghasilan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi membiayai pendidikan anak sendiri.

Lembaga riset IDEAS dan Dompet Dhuafa bahkan mencatat, dari 403 guru yang disurvei di 25 provinsi, 74 persen di antaranya bergaji di bawah Rp2 juta, dan separuhnya di bawah Rp500 ribu. Ini bukan sekadar angka. Ini potret buram sistem yang gagal menyejahterakan pendidik.

Lalu, apakah Sekolah Rakyat jawabannya? Saya khawatir program ini justru melanggengkan ketimpangan sosial. Alih-alih menjadi jembatan kesetaraan, sekolah ini bisa menjadi simbol pemisahan antara si kaya dan si miskin. Anak-anak dari keluarga kurang mampu akan dikelompokkan di sekolah khusus, terpisah dari mereka yang lebih beruntung secara ekonomi. Bukankah ini bentuk diskriminasi sistemik yang seharusnya kita hindari?

Jika tujuannya adalah membantu anak-anak miskin mengakses pendidikan, maka solusi yang lebih masuk akal adalah memperkuat sekolah yang sudah ada. Pemerintah bisa memberikan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, serta memastikan anak-anak dari keluarga tidak mampu diterima di sekolah negeri ataupun swasta yang telah beroperasi. Ini lebih efisien, lebih adil, dan tidak menciptakan pemisahan kelas sosial sejak dini.

Yang dibutuhkan pendidikan Indonesia hari ini bukan sekolah baru, melainkan perbaikan menyeluruh: peningkatan kualitas guru, pembenahan kurikulum, pemerataan fasilitas, dan perlindungan terhadap hak-hak peserta didik. Pembangunan Sekolah Rakyat hanya akan jadi ilusi jika masalah-masalah mendasar ini terus diabaikan.

Pendidikan adalah jalan peradaban. Dan peradaban tidak dibangun dengan sekadar menambah gedung, tetapi dengan keberpihakan nyata pada keadilan, kesejahteraan guru, dan akses setara bagi semua anak bangsa—tanpa terkecuali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *