Mutasi Pejabat NTB: Harmoni Birokrasi atau Permainan Politik?

Oleh: SHB Kaule Segare

 

BARU-baru ini, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melakukan rotasi sejumlah pejabat utama. Langkah ini menuai beragam tanggapan, mulai dari dukungan hingga kritik tajam. Namun, dalam sistem demokrasi, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar.

 

Mutasi pejabat sejatinya bukan hal baru dalam dinamika birokrasi. Setiap pemimpin baru tentu ingin membawa angin segar dengan tim yang sesuai visi-misinya. Rotasi jabatan kerap dianggap sebagai metode untuk mempercepat pembangunan. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan: apakah mutasi ini murni untuk kepentingan publik atau sekadar “sabun politik” yang licin?

 

Aturan Main yang Mengikat

 

Sejak dilantik, Gubernur NTB mendapat sorotan. Ada yang menyambut dengan optimisme, ada pula yang skeptis. Fenomena ini lumrah dalam dunia politik. Namun, hasrat untuk melakukan “pembersihan” pejabat lama harus berhadapan dengan sejumlah regulasi.

 

Pada 2016, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) mengeluarkan Surat Edaran yang merujuk pada UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 162 ayat (3) menyatakan bahwa pemimpin daerah dilarang mengganti pejabat dalam enam bulan pertama masa jabatan. Aturan ini bertujuan menjaga stabilitas birokrasi di tengah dinamika politik.

 

Tak hanya itu, UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kini diperbarui menjadi UU No. 20/2022, juga melindungi Pejabat Pimpinan Tinggi (PPT) dari mutasi dadakan. Mereka tidak boleh diganti dalam dua tahun, kecuali melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat.

 

Fleksibilitas vs Kepatuhan

 

Meski aturan ini bertujuan melindungi netralitas ASN, beberapa pemimpin merasa terkekang. Menanggapi hal ini, Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas mengeluarkan Surat Edaran No. 19/2023, yang memberi sedikit kelonggaran. Mutasi sebelum dua tahun diperbolehkan **jika ada alasan kuat**, seperti percepatan kinerja atau pembangunan.

 

Namun, pertanyaan besar tetap mengemuka: Apakah aturan ini menciptakan harmoni birokrasi atau justru menghambat inovasi? Di satu sisi, larangan mutasi mencegah birokrasi menjadi ajang balas dendam politik. Di sisi lain, pemimpin baru mungkin kesulitan menggerakkan perubahan jika harus bekerja dengan pejabat lama yang belum sevisi.

 

Langkah Gubernur NTB: Sabar atau Strategis?

 

Di NTB, Gubernur terpilih tampaknya memilih jalan tengah—tidak terburu-buru melakukan mutasi besar-besaran, tetapi juga tidak diam saja. Dengan mempelajari kinerja pejabat yang ada, ia berusaha menyeimbangkan antara stabilitas dan perubahan.

 

Seperti pepatah Sasak: “Bau nyale lebé tebekang, bau kuah lebé temerarang” (Bau nyale lebih baik diikat, bau kuah lebih baik dituang). Artinya, segala sesuatu harus pada tempatnya. Jika mutasi dilakukan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan politik semata, maka birokrasi bisa berjalan harmonis.

 

Masyarakat NTB tentu berharap mutasi ini tidak sekadar “permainan kursi”, melainkan langkah strategis untuk mempercepat pembangunan. Sebab, pada akhirnya, yang diinginkan rakyat adalah pemerintahan yang bekerja, bukan drama politik yang melelahkan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *